Langsung ke konten utama

Postingan

Erina dan Boneka-boneka Etalase

    Prang! Erina memandang celengan tanah liat berbentuk ayam yang pecah berserakan di lantai.  Beberapa lembar uang logam dan kertas bertaburan. Dia mengutip dan  menghitung jumlah uang yang berceceran di lantai. Dia terpekik riang setelah sampai pada lembaran uang terakhir. Rencananya untuk membeli boneka baru segera terwujud. Dengan telapak tangan membawa segepok uang, dia segera mendatangi Mama.   "Ma, tukar recehanku ini dengan uang besar, boleh? Kalau dibawa begini, nanti bertaburan di jalan." Mama tersenyum sambil mengambil dompet. Beliau menyerahkan uang kertas sesuai dengan jumlah celengan Erina. Wajah puteri cilik itu semakin berbinar dengan lembaran uang di tangannya. "Ma, sekarang aku pergi dulu ke toko Bu Wijaya,"  celotehnya riang.  "Mau beli boneka seperti yang pernah kuceritakan." " Hati-hati di jalan, ya," Mama mengingatkannya. "Kalau ada apa-apa, langsung saja tanyakan pada Bu Wijaya." Toko serba ada Bu Wijaya hany...

Angin, Awan, dan Matahari

  Sore ini, Angin sedang bertiup di langit biru. Sejauh mata memandang, hanya dia yang berseliweran di sana. Bosan bergerak sendirian, Angin mencari teman-temannya menuju desa sebelah timur.   Saat tiba di sana, dia melihat Awan sedang menurunkan hujan. Angin mengamati suasana desa yang damai dan sejuk dengan guyuran air dari langit. “Awan, boleh aku ikut berembus di sini?”  tanya Angin.  “Kayaknya kurang seru kalau hujan tanpa angin.” “Tentu saja boleh,”  jawab Awan sambil tersenyum. Angin pun segera bertiup kencang melewati pemukiman penduduk. Wusss !  Wusss ! Pohon-pohon bergoyang. Atap rumah berderak-derak. “Apa yang kamu lakukan?” Awan kaget melihat gerak-gerik kawannya. “Kamu berembus terlalu kencang.” “Ini supaya suasana lebih ramai. Aku suka melihat dedaunan pohon bergoyang-goyang ketika melintas,” jawab Angin sambil terus berputar-putar. “Tapi, caramu itu membahayakan,” ucap Awan kesal.  “Bagaimana kalau tiba-tiba ada pohon tumbang dan me...

Coklat Hilang

Nindy mengubek-ubek isi kulkas dengan rasa penasaran.  Kemana coklatnya? Padahal kemarin masih tersusun rapi di sini. Kok, sekarang hilang? Sudah berulang kali dia membongkar barisan makanan dalam kulkas. Namun, yang dicari belum juga ditemukan. Dengan perasaan kesal, dia berlari menuju ruang keluarga. " Dira, Zinka, dimana coklat Kakak? Kok, bisa hilang?" tanyanya kepada kedua adik yang menonton televisi sambil mengudap cemilan. " Nggak tahu!" Keduanya menjawab tanpa melepaskan pandangan dari layar kaca. "Nggak  tahu, gimana? Jelas salah satu dari kalian yang mengambilnya.  Siapa lagi? Papa, Mama, dan Bik Inah tidak suka coklat. Di rumah ini cuma ada kita," jawab Nindy sengit.  Memang kemarin Papa membawakan tiga bungkus coklat merek terkenal untuk mereka. Semua kebagian. Masalahnya, sekarang coklat milik Nindy tidak ada di kulkas. " Kak, jangan nuduh sembarangan." Dira mulai sewot. " Iya, jangan gitulah, Kak. Yang dimakan kemarin m...

Kisah Bunga Mawar

Dari beragam tanaman yang tumbuh di halaman rumah, Mawar merupakan bunga terindah. Karena keindahannya, teman-teman bunga lain sering memuji. “Mawar, kelopakmu sangat merona.  Cantik!  Kamu pasti bangga memilikinya,” kata Lili. “Ah, kamu juga tidak kalah cantik, kok, Lili,” jawab Mawar merendah. “Tapi, kamu berbeda, Mawar. Hampir semua orang mengenal bunga Mawar. Kalau kami belum tentu dikenali,” kata Anyelir. “Kebetulan banyak saudaraku   tumbuh di berbagai tempat. Jadi orang lebih mudah melihat dan mengenali kami,” Mawar tetap menjawab dengan tenang dan lembut. Walaupun Mawar tahu bahwa dia indah dan dikagumi orang, tapi bunga tersebut tidak pongah. Oleh sebab itu, bunga-bunga lain tetap senang berteman dengannya. Akan tetapi, hari ini terjadi sesuatu yang kurang mengenakan.  Mawar melihat bunga-bunganya mulai layu, menguning, dan kemudian gugur.   Awalnya Mawar sedih, meskipun cuma sebentar. Dia sudah biasa melihat bunganya layu. Nanti akan bertumbuh lag...

Tetangga Baru Kiko Ayam

“Kukuruyuuuk!” Pagi itu Kiko Ayam berkokok seperti biasa. Dia tak pernah bosan membangunkan penghuni desa Fabelia dengan lengkinga nyaring. “Aduh, berisik!” Tiba-tiba ada yang marah.   “Suaramu mengganggu tidur nyenyakku.” Kiko kaget. Selama ini tak ada yang mengeluh dengan kukuruyuknya. Akan tetapi, sekarang tepat di depan rumah, berdiri Belo Kucing sambil bertolak pinggang. “Sudah beberapa hari aku tinggal di desa Fabelia. Setiap pagi suaramu paling ribut di sini,”  ujar Belo. “Maaf, Belo, dari dulu setiap pagi aku selalu berkukuruyuk dan tak ada yang marah,”  kata Kiko pada tetangga barunya. “Itu karena rumah mereka agak jauh. Berbeda dengan kita. Rumahku persis berada di samping rumahmu,”  Belo kesal. Kiko terdiam sejenak. Sebenarnya dia enggan berdebat dengan tetangga sendiri. Namun, sekarang Belo melarangnya berkokok. Padahal, dia masih ingin terus melantunkan kukuruyuk. Kiko berpikir dan mencari ide bagaimana caranya meyakinkan Belo? Tiba-tiba ayam itu ingat k...

Kompor yang Sombong

Di dalam dapur pada sebuah rumah, tinggallah dua sahabat, yaitu Kuali dan Panci. Mereka sering berbagi cerita dan pengalaman tentang memasak berbagai jenis makanan.  Setiap hari, ada beragam masakan keluarga yang disajikan Mama dan Kakak. Kuali dan Panci senang sekali bisa membantu mereka. “Kemarin Mama merebus sup buntut dengan menggunakanku. Harum luar biasa. Sayang, aku tak bisa memakannya. Kalau bisa, sudah kuhabiskan semua.”  Panci tertawa saat menceritakan pengalamannya. Kuali tidak mau kalah. ”Kalau Kakak kemarin menggoreng ayam dengan menggunakanku. Renyah sekali.  Sampai sekarang aku masih ingat rasa bumbunya.” Kompor yang dari tadi mendengar percakapan mereka langsung menyela.  ”Kalian tahu, tanpa aku masakan mereka tak akan jadi apapun? Kalian lupa pada jasa-jasaku.” “Lho, bukan maksud kami melupakanmu, Kompor. Kami wadahnya, sedangkan kamu digunakan untuk memasak. Kita bekerja sama,” jawab Kuali. “Tidak! Sebagai wadahnya mereka bisa menggunakan periuk ata...

Rumah Kosong dan Teman-temannya

  Hompy adalah sebuah rumah mungil di pinggiran kota. Sudah beberapa bulan ini dia tak berpenghuni. Namun, Hompy tidak pernah merasa kesepian. Dia mempunyai sekelompok teman mungil, yaitu kawanan semut. Para semut tinggal di gundukan tanah tak jauh dari lokasi Hompy. Dari tempatnya, rumah itu sering memperhatikan kawan-kawannya bergotong-royong mengumpulkan makanan. Hompy senang melihat semangat dan kekompakan mereka. Suatu hari, para semut melihat Hompy bersedih. Tidak biasanya dia berwajah muram. Walaupun hanya rumah kosong yang sudah lama ditinggalkan, tapi Hompy enggan mengeluh. “Ada apa, Hompy, mengapa wajahmu murung?” tanya Muti Semut. “Beberapa hari ini, dinding belakangku ditumbuhi tanaman merambat liar, Muti,” jawab Hompy. ”Kalau dibiarkan terus, tak lama lagi seluruh dindingku ditutupi tanaman itu. Aku akan semakin kotor dan suram.” Muti dan teman-temannya segera melihat ke halaman belakang. Ternyata memang benar, ada tanaman liar yang merambat di dinding. Kala...